Peradaban manusia di dunia, khususnya Indonesia
tidak lepas dari seni, karena seni memberi banyak arti bagi penikmatnya seperti
halnya seni sastra. Sejarah dan budaya masa lalu bisa kita ketahui lewat
sastra. Meskipun tidak secara rinci dijelaskan, lewat tulisan seperti hikayat, puisi
lama, dan sastra lainnya memberi makna tersendiri akan sejarah dan budaya masa
lalu. Tulisan-tulisan sastra masa lalu banyak menceritakan tentang perjuangan
dan nasionalisme. Lewat tulisan itu, kita mengetahui sejauh mana pergolakan
Indonesia waktu itu. Hingga kini seni sastra masih membumi.
Perkembangan sastra Indonesia sendiri, baru dimulai
sejak periode angkatan balai pustaka di tahun 1920, meskipun pada awalnya di
abad ke IV Masehi, seni tulis-menulis sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia.
Periode angkatan balai pustaka ini dijadikan pula sebagai tonggak awal
penulisan sastra modern Indonesia. Sastra yang dulunya hanya menceritakan
tentang nasionalisme telah mengalami revolusi, baik dari segi nuansa, gaya
bahasa, maupun bentuk karya.
Berbagai sastrawanpun bermunculan di era 1920. Pada
saat itu karya-karya yang lahir masih dengan bahasa yang sukar dipahami, namun
gaya baru dalam sastra sudah mulai bermunculan seperti roman dan novel.
Penulisan sastra modern dengan gaya bahasa yang mudah dipahami mulai
bermunculan di tahun 90-an. Masa ini banyak penulis baru dengan karya seperti
novel, cerpen, puisi, dan esai hadir dengan tema yang beragam. Hal ini telah
membawa angin segar bagi perkembangan sastra di Indonesia. Karya-karya
tersebut, terutama sajak atau dikenal dengan puisi banyak disukai oleh pembaca,
selain karena mudah dipahami juga memiliki makna dalam penyampaian sajak itu.
Salah satu penulis yang turut andil saat itu adalah
Acep Zamzam Noor dengan nuansa karyanya yang mengulas isu sosial-politik.
Hingga saat ini, Acep Zamzam Noor masih eksis di panggung sastra Indonesia.
Karya-karya beliau, kini tidak lagi fokus pada sosial-politik saja, tapi nuansa
baru hadir menghiasi sajak-sajaknya. Sajak bertema islam dan romantika adalah
nuansa dalam karya beliau.
Acep
Zamzam Noor, seorang penyair yang mampu menghipnotis para penikmatnya disetiap
baris sajak yang ia sampaikan. Tidak sedikit dari mereka akan berkata WOW!,
bila telah membaca karya beliau. Wajar saja, jika karya-karya beliau banyak
mendapat penghargaan. Hal ini menjadi inspirasi tersendiri bagi saya untuk
turut cinta dengan sastra Indonesia. Sajak Acep Zamzam Noor mengawali kecintaan
saya pada sastra, yang kini tidak hanya sekedar menginspirasi tapi juga
perjalanan karir beliau di panggung sastra telah menuai harapan dalam diri
saya.
Mengapa Harus Acep ?
Acep Zamzam Noor, seorang penyair asal Cipasung. Lahir dan dibesarkan oleh seorang ulama yang terkenal di pondok pesantren Cipasung. Dari kecil hingga remaja, Acep menghabiskan waktunya di pondok pesantren tempat ayah Acep membagi ilmu. Meski demikian, hal itu tidak membuat Acep harus tunduk dan mengikut pada profesi sang ayah. Atmosfir kesenian yang ada dalam dirinya telah membuktikan bahwa kecintaan dan kegemaran Acep dalam menulis sajak sejak kecil mengantarnya menjadi seorang sastrawan.
Acep Zamzam Noor dikenal dengan karya-karyanya yang bernuansa islami. Wajar saja, karena latar belakang Acep adalah anak pondok pesantren. Jiwa seni yang ada dalam diri Acep, juga ia salurkan melalui komunitas yang ia dirikan. Komunitas sanggar sastra tasik dan Azan yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra merupakan komunitas yang ia bentuk.
Karya-karya Acep banyak digemari oleh penikmat syair, tidak hanya sajak bernuansa islami, tapi juga puisi dengan nuansa sosial, sejarah, dan romantika. Hampir disetiap baris puisi beliau mengandung pesan yang menggugah jiwa. Dedikasi dan prestasi Acep dalam menulis membawa beliau meraih banyak penghargaan sastra, diantaranya penghargaan penulisan karya sastra dari pusat bahasa, Departemen Pendidikan Nasional untuk karya Di Luar Kota tahun 2001, penghargaan penulisan karya sastra dari pusat bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahku, juga the SEA Write Award tahun 2005.
Perjalanan seorang sastrawan asal Cipasung ini telah melahirkan banyak karya melalui puisinya. Karena kepiawaiannya, karya-karya puisi beliau banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Perancis. Adapun karya-karya yang dihasilkan beliau, seperti Tamparlah Muka, Aku Kini Doa, Kasidah Sunyi, Di Luar Kota, Jalan Menuju Rumahku, Dongeng dari Negeri Sembako, dan masih banyak lainnya. Karya-karya beliau dimuat di berbagai media, majalah sastra hingga jurnal. Saat ini, sajak beliau sudah mencapai angka ratusan. Hal ini juga memotivasi saya untuk berkontribusi di sastra Indonesia. Namun sayangnya untuk mengembangkan kemampuan sastra saya masih terbatas, karena tidak adanya wadah untuk mendalami sastra di tanah kelahiran sendiri sehingga mengharuskan saya untuk belajar sastra secara otodidak.
Gejolak Sastra di Tanah Kelahiranku
Karya sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan dan pengajaran. Sebab itu sangat keliru bila dunia pendidikan selalu menganggap bidang eksakta lebih utama, lebih penting dibandingkan dengan ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora. Masyarakat memandang bahwa karya sastra hanyalah khayalan pengarang yang penuh kebohongan sehingga timbul klasifikasi dan diskriminasi. Padahal karya sastra memiliki pesona tersendiri bila kita mau membacanya. Karya sastra dapat membukakan mata pembaca untuk mengetahui realitas sosial, politik dan budaya dalam bingkai moral dan estetika yang terjadi di sekitar kita.
Dari dulu sampai sekarang, karya sastra tidak pernah pudar dan mati. Dalam kenyataannya, karya sastra dapat dipakai untuk mengembangkan wawasan berpikir bangsa. Karya sastra dapat memberikan pencerahan pada masyarakat modern. Di satu pihak, melalui karya sastra, masyarakat dapat menyadari masalah-masalah penting dalam diri mereka dan menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab terhadap perubahan diri mereka sendiri.
Sastra dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan masyarakat serta mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sastra mendorong orang untuk menerapkan moral yang baik dan luhur dalam kehidupan dan menyadarkan manusia akan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan memiliki kepribadian yang luhur.
Belajar sastra bisa dijadikan pijakan untuk mengkaji kehidupan. Di dalamnya termuat nilai-nilai akhlak, moral, filsafat, budaya, politik, sosial dan pendidikan. Sastra juga berguna dalam meningkatkan kepekaan rasa dan memberikan hiburan, bukan bagi dunia pendidikan namun masyarakat secara umum. Namun realitasnya, perkembangan sastra akhir-akhir ini, khususnya di kalangan generasi muda merasa enggan untuk mempelajarinya. Alasan mereka sederhana, kurikulum pembelajaran sastra yang ada di sekolah mereka dan guru pengajar sastra yang kurang mereka sukai membuatnya ogah untuk mengkaji ilmu sastra. Tidak hanya itu, kurangnya wadah atau komunitas yang memberikan pengajaran tentang sastra memicu generasi muda semakin menjauh dari sastra. Hanya berbekal kesadaran dan kecintaan terhadap sastra yang membuat sebagian dari mereka harus belajar otodidak. Di Sulawesi Selatan sendiri, tanah kelahiran saya, sanggar sastra sangat sulit ditemukan, sehingga ketika teman-teman ingin belajar sastra tidak ada kesempatan, sedang di sisi lain di sekolah pengajaran sastra sangat terbatas. Olehnya itu, perkembangan sastra sebenarnya harus dibarengi dengan terbentuknya komunitas-komunitas atau sanggar sastra yang bisa membina generasi muda untuk cinta pada sastra.
Melihat permasalahan tersebut, suatu keinginan tersendiri bagi saya untuk ikut serta berkontribusi dalam memajukan sastra di Indonesia, khusunya Sulawesi Selatan melalui komunitas-komunitas atau sanggar sastra. Keinginan saya untuk mewujudkan hal itu tidaklah lepas dari inspirasi saya pada sastrawan Indonesia, yaitu Acep Zamzam Noor. Melalui sajak-sajak beliau yang menyentuh dan mengetuk hati, saya menjadi sangat tertarik untuk berkecimbung di panggung seni sastra. Di sinilah saya bisa menghasilkan karya-karya yang tentunya karya tersebut mempunyai nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca. Dan melalui sastra, saya juga berkeinginan untuk membagi ilmu tentang sastra melalui komunitas atau sanggar sastra yang saya dirikan kelak di tanah kelahiran saya, Sulawesi Selatan.
Inspirasi Berbuah Harapan
Latar belakang pendidikan seorang anak manajemen, bukanlah penghalang bagi saya untuk berkiprah di panggung seni, khususnya seni sastra. Kecintaan terhadap seni memberi motivasi tersendiri bagi generasi seperti saya dalam mengungkapkan sejuta rasa melalui sebuah karya. Tidak sedikit dari teman sebaya memberikan kritik, mereka menganggap dunia kuliah di bangku manajemen bukanlah jalan tepat bagi saya meraih pintu bahagia. Ujar mereka, bangku kuliah dengan prodi seni dan sastra adalah jalan terbaik meniti karir yang lebih baik. Kegemaran dan kebiasaan saya dalam menulis membuat sebagian dari mereka berkata demikian. Hal itu tidak menyudutkan saya untuk memilih apalagi merubah pilihan. Seni sudah harga mati, pilihan prodi harus saya jalani. Dua dunia yang bertolak belakang tentu harus saya geluti dengan baik, tanpa harus menyampingkan diantara keduanya.
Saya kerap disapa Ajun, lengkap nama orang menyebutnya Akbar Tanjung. Di usia yang genap 20 tahun, sastra semakin membuat saya jatuh cinta. Bagi saya makan dan minum tidak cukup untuk bertahan hidup. Hidup itu butuh seni karena seni beri kesan tersendiri bagi penikmatnya. Puisi, narasi, dan karya sastra lainnya bagi saya itu sebuah keindahan yang harus diungkapkan lewat tulisan.
Akhir-akhir ini banyak bermunculan seniman sastra, yang karya-karyanya bisa menginspirasi banyak kalangan. Tidak hanya sekedar membaca ataupun menikmatinya, tapi jiwa penyair juga ikut tumbuh sehingga memotivasi pembaca terjun di panggung seni yang sama. Saya merasakan yang demikian, semenjak tahun 2008, saya sudah tertarik di dunia sastra. Karya Acep Zamzam Noor menjadi sajian saya. Alasannya sederhana, karya dengan nuansa islami, mengandung sejarah serta pembelajaran moral, membuat saya kagum dengan sajak-sajak beliau. Hal itu tidak hanya menginspirasi, tapi menumbuhkan harapan dalam diri saya untuk menjadi seorang sastrawan. Saya menyadari, sastrawan seperti beliau masih jarang apalagi di Kawasan Timur Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan tanah kelahiran saya. Saya memiliki harapan untuk menghidupkan sastra di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan melalui karya-karya dengan nuansa sajak yang penuh makna. Inspirasi menuai harapan, Akbar Tanjung bermimpi jadi sastrawan.
Komentar
Posting Komentar